Gua Sillanan, Jejak Tradisi Mayat Berjalan di Toraja

MO -- Gua Sillanan di Menkendek, Tana Toraja boleh jadi menjadi saksi adanya tradisi mayat berjalan di kalangan orang Toraja di masa lalu. Majalah terkenal di Indonesai, Tempo, di tahun 1972 menerbitkan artikel mengenai keberadaan sebuah Gua di Desa Sillanan, Gandang Batu.

Tentu tidak sembarang majalah itu menyebarkan cerita yang tak ada faktanya. Dan rarasumbernya adalah Kepada Daerah Tingkat II Tana Toraja, A Tampubolon, orang yang paling berkuasa waktu itu.

Bupati Tampubolon diceritakan pernah mengancam tidak akan berkunjung ke Daerah Sanggalla kalau tidak disiapkan menu daging Anjing. Kamu bangsawan Sangalla yang pantang makan daging Anjing terpaksa menyiapkan. Hingga sekarang, daging anjing dengan bebas bisa diperjualbeli di daerah Sangalla.

Menurut kisah Bupati Tampubolon, konon disebuah gua di desa Sillanan (20 km arah selatan Makale) sejak tahun 1905 telah ditemukan mayat manusia yang utuh, tidak busuk sampai sekarang.

Mayat itu tidak dibalsem seperti yang dilakukan orang-orang Mesir Purba bahkan tidak diberi ramuan apapun. Tapi bisa tetap utuh.

Menurut pendapat Tampubolon, kemungkinan ada semacam zat di gua itu yang khasiatnya bisa mengawetkan mayat manusia.

Kalau saja ada ahli geologi dan kimia yang mau meluangkan waktu menyelidiki tempat itu, agaknya teka teki gua Sillanan dapat dipecahkan.

Di samping mayat yang anti pembusukan, ada pula mayat manusia yang bisa berjalan di atas kedua kakinya, bagaikan orang hidup yang tidak kurang suatu apapun.

Kalau mau dicari juga perbedaannya, tentu ada, tapi tidak begitu kentara.

Konon menurut Tampubolon, sang mayat berjalan kaku dan agak tersentak-sentak.

Dan dalam perjalanan itu ia tidak bisa sendirian, harus ditemani oleh satu orang hidup yang mengawalnya, sampai ke tujuan akhir yaitu rumahnya sendiri.

Mengapa harus demikian?

Ceritanya begini. Orang-orang Toraja biasa menjelajah daerahnya yang bergunung-gunung dan banyak ceruk itu hanya dengan berjalan kaki.

Dari zaman purba sampai sekarang tetap begitu. Mereka tidak mengenal pedati, delman, gerobak atau semacamnya.

Nah dalam perjalanan yang berat itu kemungkinan jatuh sakit dan mati selalu ada. Supaya mayat tidak sampai ditinggal di daerah yang tidak dikenal (orang Toraja menghormati roh setiap orang yang meninggal) dan juga supaya ia tidak menyusahkan manusia lainnya (akan sangat tidak mungkin menggotong terus-menerus jenazah sepanjang perjalanan yang makan waktu berhari-hari), maka dengan satu ilmu gaib, mungkin sejenis hipnotis menurut istilah jaman sekarang, mayat diharuskan pulang berjalan kaki dan baru berhenti bila ia sudah meletakkan badannya di dalam rumahnya sendiri. Dan bayangkan saja, mayat itu tahu arah jalan, dan tahu yang mana rumahnya!

Kendati demikian masih ada satu pantangan: mayat yang berjalan itu tidak boleh disentuh dan ditegur. Mungkin kalau disentuh mukjizat yang menyulapnya dengan serta merta hilang. Wallahu’alam.


Catatan: Kecuali gua, keberadaan mayat itu sendiri masih misteri, karena kemungkinan sudah dicuri setelah maraknya pencurian mummi di daerah Toraja sejak tahun 80-an di kala wilayah ini menjadi destinasi wisata terkenal di dunia.
Di Mamasa sendiri, tradisi mayat berjalan masih berlangsung hingga era 80-an sebelum mulai bekurang sejalan dengan adanya rasa malu di kalangan masyarakat kalau mayat keluarganya dibuat berjalan, karena menandakan kurang hormat. Mereka juga memandang dirinya kurang mampu mengurus mayat keluarganya, sehingga terpaksa dibuat berjalan seolah-olah masih hidup. Ini juga seiring dengan paksaan memilih agama yang diakui pemerintah. Banyak orang Mamasa memilih masuk agama Kristen dan Katolik.
Sumber: majalah tempointeraktif.com