Headlines News :
Home » , » Lomar Dasika: Mamasa Valey Masih Irisinil

Lomar Dasika: Mamasa Valey Masih Irisinil

Written By Unknown on Rabu, 06 Oktober 2010 | 21.14

MO -- Banyak sudah yang coba menulis pengalaman berkunjung ke Mamasa, Sulawesi Barat. Tetapi hanya sedikit yang benar-benar ingin berbagi "apapun" tentang Mamasa yang dilihat, dialami, dan dirasakan sekaligus. Lomar Dasika, penulis dalam seri ini sudah melakukan yang terakhir ini.Saya menemukan tulisan Lomar ini diposting oleh Heru Hendarto di situs indobackpacker.com. Saya tampilkan sesuai aslinya, agar pengunjung ikut menikmati keunikan, keindahan alam dan budaya di lembah Mamasa, yang masih orisinil itu.

Demikian menggebu2nya saya untuk menginjakkan kaki di provinsi Sulbar, Alhamdulillah akhirnya kesampaian juga. Berikut saya share sedikit trip ke sana, semata2 karena info Mamasa memang sangat minim. Hasil browse di internet dan LP ternyata banyak yg tidak akurat-mudah2an note ini membantu.


Mamasa, kabupaten muda di Sulbar, terkenal juga dengan sebutan West Tana Toraja, terletak 330 km dr Makassar. Jalur paling gampang adalah menggunakan jalur darat ke Polewali lalu sambung ke Mamasa dgn total perjalanan bersih 10-11 jam. Mamasa, memiliki kebudayaan serupa Toraja, sehingga saat memasuki Mamasa seolah2 kita memasuki Toraja.

13 April : Turun dr Bandara, saya menuju Terminal Daya. Kecele berat karena trnyta sore/malam hari tidak ada bis ke Mamasa (per telpon dgn salah satu penginapan di sana, jam 7 tersedia bis langsung Mamasa, ternyata maksudnya 7 pagi padahal jelas2 saya bilang malam hari-hiaa wadezig!). Tidak mau kehilangan waktu, saya segera memesan bis malam non AC dgn nama PIPOSS yang kependekan dari Padaidi Padaelo Sipatuo Sipatokkong yang kurang lebih artinya bersama2 sama rasa saling bantu. Sedianya brngkt jam 8 mlm, bis baru meluncur pukul 20.20. Uniknya, sebelum berangkat, seorang tetua masuk ke bis dan memimpin doa dgn khusuk dan fatihah agar semua penumpang selamat. Dalam bis ke Selayar, bis yang saya tumpangi juga menghentikan kendaraannya di sembarang mesjid di pinggir jalan agar penumpangnya bisa menunaikan Jumatan. Di tempat lain? Saya belum nemu he he.

Bis meluncur perlahan di jalanan yg sedang diperbaiki hingga Pare2. Bis ini sedianya menuju Mamuju dengan melewati kota2 pesisir barat termasuk Polewali sehingga saya rasa saya bisa turun di Polewali dan sambung ke Mamasa esoknya.

14 April : Saya yang tertidur, terbangun saat bis berhenti di suatu terminal. Celingak-celinguk, liat plang namanya Tilopayo. Sudah pukul 3.30 dan karena saya curiga, saya buka google map dan posisi terpampang di seputaran Polewali. Bis sudah jalan ketika saya colek keneknya dan berkata bahwa saya harus turun di terminal Polewali. Ternyata memang itulah tempatnya, dengan nama terminal yang sama sekali berbeda dengan daerahnya. Saya pun segera turun dan bengong karena terminal seluas 2 hektaran itu sunyi sepi gelap gulita sama sekali. Tidak ada seorang pun kecuali saya di situ. Akhirnya, saya menghampiri gardu polisi dengan dua penjaga dan meminta izin menginap di emperan terminal. Hujan rintik2, udara dingin dan nyamuk berhinggapan menemani rebahan saya di emperan sisi ruang tunggu.

Subuhan, dan pagi mulai menjelang ketika sekitar pukul 6, saya bertanya kepada orang yang lewat. Saya tanya adakah bis ke Mamasa dan jam berapa? Dia bilang, ada tapi jam 2 siang. Whaat..? Jam 2 siang? Berarti itu bis yang jam 7 pagi dr Makassar? Lagi-lagi kupret, informasi yg saya dapat bahwa di terminal terdapat kendaraan sejenis jip pagi2 hari menuju Mamasa ternyata sudah ga update. Ngapain juga saya korbankan diri saya nginap ga jelas di terminal itu kalau memang ternyata ga ada bisnya? Bersungut2, saya segera menyeberang jalan terminal menyetop pete2 menuju perempatan Mabuliling kota Polewali karena infonya di sana banyak kendaraan ke Mamasa.

Benar juga, begitu turun dari pete2, tiga lelaki berlari dengan kocaknya menghampiri saya dengan berteriak : ‘Mamasa? Mamasa?’. Saya berkata : ‘Ya, tapi kenapa jadi ramai begini?’. Mereka pun tertawa, dan nyatanya mereka walaupun bersaing mencari penumpang, tidak pernah ribut satu sama lain. Bahkan dengan lucunya berlari sana-sini menjemput calon penumpang sambil bercanda2 dan tertawa satu sama lain. Coba di Jawa, namanya saingan pasti gontok2an satu sama lain.

Saya menunggu Kijang hampir penuh dan berangkat pukul 8.30. 20 menit lepas dari pesisir Polewali, perjalanan menjadi mengasyikkan karena mobil langsung menanjak di ketinggian 600 meter dengan pemandangan teluk Polewali di sebelah kiri dan perbukitan indah di depan.

Hambatan mulai terjadi saat mobil stuck di jalan yang tertutup longsoran tanah. Beberapa mobil yang mencoba menerobos, gagal karena licinnya medan. Bahkan ada sebuah truk besar kapasitas 40 ton yang sudah tertahan 5 hari lamanya. Sebenarnya supir kami yakin bisa tembus karena mobil kami menggunakan bensin yang dengan mudahnya mencapai rpm dan power tinggi sekali gas. Berbeda dengan solar, yang kesulitan melewati rintangan karena tarikannya lemah. Saat mencoba kami urungkan karena jalan sudah ditutup karena akan datang excavator. Ujug2, yang nongol2 malahan wheel loader. Tentu saja karena bukan peruntukan alat, tumpukan tanah lumpur padat tidak bisa dibuang. Loader pun hanya meratakan permukaan dan melandaikan sedikit sehingga pukul 11.35 kami bisa menembus longsoran itu. Selanjutnya jalanan makin parah, berkelak-kelok sempit curam dengan dasar aspal rusak dan tanah lempung. Supir pun membanting kanan kiri dan membunyikan klakson di tiap tikungan. Supir Mamasa memang terkenal dengan keahliannya karena memang tuntutan alamnya begitu. Ada joke, jika supir dari Mamasa hendak membuat SIM, tidak pernah dites tetapi langsung dikasih karena para polisi sudah yakin dengan kemampuan menyupir orang2 Mamasa. Pukul 15.00 saya tiba, dengan total 6 jam perjalanan dari normalnya 4 jam. Padahal jarak Polewali-Mamasa hanya 93 km! Satu jam sebelum memasuki Mamasa, kita sudah disuguhi pemandangan apik pedesaan sepanjang jalan dengan tumah Tongkonannya yg menawan.

Saya minta dicarikan penginapan yang bersih dan murah. Dipilihkan supir di tengah kota (yang ternyata kotanya kecil). Kota Mamasa-1100 m dpl, memang diapit oleh perbukitan sehingga berada di lembah dan dipotong oleh jalur sungai Mamasa yang berair deras. Setelah menaruh tas, saya lalu cari ojek buat keliling2 dan saya pun lalu meluncur ke Tawalian-4 km timur Mamasa. Benar2 saya sangat menikmati indahnya perbukitan Mamasa, apalagi kabut dan awan berarak2 di atas membuat saya seolah2 naik ojek di antara awan he he.

Gereja Tua
Di Tawalian, terdapat gereja paling tua di Sulbar yang dibangun Zending-Belanda tahun 1929. Kaca patri warna-warni di jendela tampak juga menorehkan angka 1930. Arsitekturnya klasik, dengan interior dan mimbar gereja yang berhiaskan pahatan khas Mamasa/Toraja. Saya pun naik ke menaranya dan menyaksikan lonceng tua yang sudah aus tidak digunakan digantikan lonceng baru. Sekeliling pemandangan dari atas begitu indahnya saat itu. Di sekitar gereja juga terdapat kampung Tawalian tua yang masih menyimpan rumah adat Tongkonan tua yang tampak unik.

Selesai, saya pun meluncur ke utara kota melalui jalan rusak Mamasa-Toraja menuju Rantebuda. Di sini, terdapat kompleks rumah bangsawan yang tua dan terawat. Bertemu dengan Pak Deny, keturunan ke-21 bangsawan setempat, saya jadi paham bahwa perbedaan utama tongkonan Mamasa adalah menggunakan atap Uru (sirap sejenis jati) dengan jumlah kamar lima dimana tongkonan Toraja menggunakan atap bambu dan jumlah kamar tiga. Dua puluh menit saya berbincang di dalam rumahnya dan sempat menggoreskan indobackpacker di buku tamu :D . Hari hampir maghrib ketika saya kembali ke penginapan dan setelah makan, mandi, saya pun langsung tewas hingga esok harinya.

15 April Subuh saya sudah melangkahkan kaki menuju sisi barat kota, ke arah BTS telkom dekat sebuah gereja di bukit untuk menyongsong sunrise. Kurang beruntung sepertinya saya karena mendung menghadang sehingga sepertiga jalan saya berbelok ke utara menuju sawah dataran banjir sungai Mamasa. Bukan apa2, untuk apa saya memaksakan ke BTS jika langit tertutup awan? Lagipula selepas jembatan, tampak dua ekor anjing kampung menggeram menghadang. Well, saya tidak takut dengan dua anjing itu, tapi ngeri dengan teman2nya he he he. Akhirnya saya memilih jalur yang banyak dilalui pelari pagi, karena pasti anjing2 di jalan itu sudah terbiasa dengan orang yang lewat-beda dengan gerombolan anjing kampungan tadi.

Satu jam motret di seputaran sawah, saya menelpon Tadius-ojeker kemarin untuk menemani saya ke salah satu tempat tertinggi di Mamasa. Motor melaju di jalanan buruk menuju Ballapeu’, sebuah desa dengan ketinggian 1600 m dpl. Jaraknya lumayan dekat sebenarnya, sekitar 10 kilometeran, namun buruknya jalan membuat saya tobat habis2an. Tujuan akhirnya sebenarnya adalah BuntuMusa, puncak bukit di sebelah Ballapeu’ namun ternyata motor tidak bisa tembus. Harus berjalan kaki padahal waktu sangat terbatas dan awan gelap menggantung. Akhirnya saya pun cukup puas memotret di sekitar desa adat Ballapeu’.

Memang nasib baik menghampiri, tampak dari kejauhan rombongan warga desa berjalan berbaris dalam balutan kain hitam. Ternyatan hari itu adalah hari tabur bunga seorang warga yang meninggal karena liver. Tabur bunga dilakukan di hari kedua, lalu 7 hari istirahat dan hari ke 10 baru tabur bunga lagi. Pakaian mereka hitam2 (kaen itam)-jadi sebenarnya budaya berbelasungkawa dengan kain hitam itu duluan Mamasa/Toraja atau Kaum Barat? Mereka mengumpul di makam atas bukit dan sebagian menangis meraung2 melempar bunga. Kaum lelaki pun sibuk membuat pondok2an, entah untuk tujuan apa. Selesainya acara mereka, saya pun kembali ke Mamasa setelah mengantongi setumpuk foto landscape lembah Mamasa yang dingin diselimuti kabut.

Bingung hendak apa lagi, dan juga mengingat waktu yang terbatas, saya ke pasar dan mencari angkutan ke Makassar. Ternyata di dekat penginapan, banyak sekali Kijang yang ngetem, sebagian besar tujuan Polewali. Beruntung saya mendapat Kijang ke Makassar, walaupun harus duduk terjepit di tengah. Sebenarnya, jika mau saya bisa saja turun ke Polewali sore hari dan lanjut dengan menyetop bus dari utara ke Makassar. Namun, ekstra 4 jam di Mamasa bagi saya tidak ada bedanya karena tempat2 penting sudah saya kunjungi. Sebenarnya masih banyak tempat lain seperti kubur tua, gua alami, air terjun dll namun lokasinya jauh2, radius 20 km-an dr Mamasa (misal Nosu-5 jam perjalanan) sehingga tidak mungkin saya jangkau dalam waktu sesempit itu.

Pukul 9.30 saya turun ke bawah dan tiba di Makassar pukul 22.30 malamnya. Langsung saya terkapar dan saat ini sedang bersiap2 pulang di bandara Hasanuddin. Kijang ini rencananya akan kembali ke Mamasa esok Sabtu, namun tidak mangkal. Hanya bermodalkan panggilan per hape saja dan referensi mulut ke mulut.

Briefly, Mamasa menawarkan wisata mirip Toraja, baik tongkonan, rumah tua, kubur tua (walau tidak sebanyak Toraja) dan keindahan hijaunya sawah yang terhampar di lembah2nya. Namun, Mamasa lebih nyaman karena belum komersil dari mass tourism. Masyarakatnya pun tulus, dan meninggalkan kebijakan2 yang bisa kita-orang kota tiru. Beberapa operator juga menyediakan paket trekking Mamasa-Toraja selama 4 harian, cukup menarik sepertinya. Idealnya sih, untuk explore Mamasa, dibutuhkan waktu sekitar satu minggu. Hambatan satu2nya ke Mamasa adalah buruknya infrastruktur jalan, benar2 membuat stress bagi yang tidak biasa.

Cost : – Makassar-Polewali bis PIPOSS non AC (48.000) – Pete2 terminal Tilopayo-perempatan Mabuliling Polewali (3.000) – Kijang Polewali-Mamasa (50.000) – Penginapan Mini (85.000) – Sewa ojek Tawalian, Rantebuda dsk (30.000) – Sewa ojek Ballapeu’ dsk (30.000) – Kijang Mamasa-Makassar (100.000) – Sekali makan sekitar 10-15.000 rupiah.

Salam

Lomar Dasika
By Heru Hendarto In indobackpacker |
http://www.indobackpacker.com
Bagikan :

3 komentar :

  1. Yth Pak Step,

    Tulisan di atas dibuat oleh saya (Heru Hendarto) dan diposting ulag di blognya Sdr Lomar Dasika. Untuk tambahan, tulisan saya itu diposting hanya di milis indobackpacker, bukan di websitenya. Hanya berupa teks tanpa foto.

    Sekedar meluruskan saja.

    Salam

    Heru


    [Saya menemukan tulisan Lomar ini diposting oleh Heru Hendarto di situs indobackpacker.com

    Salam

    Lomar Dasika
    By Heru Hendarto In indobackpacker
    http://www.indobackpacker.com]

    BalasHapus
  2. Sebuah usaha yang cukup bagus untuk mengenal mamasa lebih jauh.

    BalasHapus
  3. Bung Heru, terima kasih atas koreksian. Dengan demikian kesalah diperbaiki.

    Terima kasih, sudah mengunjungi daerah kami. Semoga menarik minat semakin banyak orang, berkunjunga dan membagikan pengalaman mereka selama di Mamasa.

    wassalam.

    BalasHapus



PASANG BANNER INI PADA BLOG ANDA

Copy Kode HTML di Bawah Ini

<a href="http://www.mamasaonline.com"><img border="0" src="http://pijarpustakamedia.com/mamasaonline480x320.gif" width="480" hight="320"/></a>

SAMBUTAN BUPATI MAMASA

Selamat dan sukses atas diluncurkannya portal berita www.mamasaonline.com semoga bisa menjadi media pemersatu dan sumber informasi serta media kontrol yang berimbang,obyektif serta inspiratif dalam rangka turut serta berperan aktif dalam upaya pembangunan Mamasa kedepan. Salam dari kami berdua, Ramlan Badawi dan Victor Paotonan (Bupati & Wakil Bupati Mamasa).

VIDEO

TWITTER

FB FANS PAGE

 
Support : Mamasa Online | Johny Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. mamasa online - All Rights Reserved
Template by Mamasa Online Published by Mamasa Online