Headlines News :
Home » » Pitu Ulunna Salu: Kuasa dalam Balutan Sejarah Identitas

Pitu Ulunna Salu: Kuasa dalam Balutan Sejarah Identitas

Written By Unknown on Kamis, 05 November 2009 | 17.30


MO -- Kelahiran kembali sebuah bangsa. Inilah yang akhirnya terjadi dan sedang terjadi di penggalan wilayah Pulau Sulawesi bagian barat. Pembentukan Provinsi Sulbar pada Oktober 2004 bagaikan mengulang kembali sejarah yang tertoreh pada paruh akhir abad ke-16.

Pada masa itu, literatur mengungkap, tujuh kerajaan yang berada di sekitar muara sungai, pesisir, bersepakat membentuk federasi bernama Pitu Ba?bana Binanga, atau tujuh kerajaan di muara sungai. Kultur bahari dominan dalam masyarakat di wilayah ini. Kultur semacam ini pula yang mengidentikkan masyarakat Mandar sebagai masyarakat laut. Kerajaan-kerajaan dalam kelompok ini adalah Balanipa dan Binuang yang dalam wilayah Kabupaten Polewali Mandar, Banggae, Pamboang, Sendana di Kabupaten Majene, serta Tapalang dan Mamuju di wilayah Mamuju dan Mamuju Utara.

Awal abad ke-17, federasi tujuh kerajaan di pesisir itu bergabung kembali dengan federasi kerajaan di kawasan hulu sungai, pegunungan, Pitu Ulunna Salu. Kerajaan di kawasan pegunungan adalah Tabulahang, Aralle, Mambi, Babang, Rantebulahang, dan Tabang yang kini masuk wilayah Kabupaten Mamasa. Satu lainnya, yaitu Matangnga, masuk Kabupaten Polewali Mandar. Dua federasi dengan jumlah 14 kerajaan tersebut bersepakat dalam satu ikatan yang menguatkan (sipamandar) ?tujuh kerajaan di gunung dan tujuh kerajaan di pesisir?. Dari sinilah kerap dirujuk sebutan Mandar sebagai ikatan komunitas.

Menurut guru besar Antropologi Universitas Negeri Makassar, Darmawan Mas?ud Rahman, pembentukan Provinsi Sulbar ini tidak lepas dari yang disebut politik identitas, yaitu identitas ke-Mandar-an. Posisinya yang jauh dari pusat pemerintahan dan pertumbuhan di Makassar membuat wilayah Mandar terpinggirkan dari hiruk-pikuk kemajuan. Semangat untuk bangkit dengan nilai-nilai Mandar yang masih melekat dan tersisa dari gerusan zaman menjadi napas baru komunitas ini.

Di sisi lain, Mandar juga merujuk pada salah satu suku bangsa mayoritas di wilayah ini yang berorientasi laut. Meski demikian, Sulbar saat ini tidak hanya milik etnis Mandar lantaran berbagai kelompok suku bangsa besar lainnya juga bermukim di wilayah ini. Konfigurasi penguasaan wilayah berdasarkan pengelompokan suku bangsa tampak nyata. Kabupaten dengan persentase etnis Mandar terbanyak ada di Majene, yaitu mencapai 96 persen. Persentase yang juga besar ditemukan di Polewali Mandar (68 persen). Etnis utama lainnya di Polman adalah Bugis dan Jawa. Mamuju didiami penduduk multietnis. Di sini, etnis Mandar hampir 30 persen dan Bugis 15 persen, sisanya Jawa, Toraja, Makassar, dan lainnya. Di Mamuju Utara, jumlah etnis Mandar selisih sedikit dengan Bugis yang berjumlah lebih banyak. Etnis Jawa, Toraja, dan Makassar juga lumayan banyak di kabupaten yang ada di ujung utara ini. Di Kabupaten Mamasa, Toraja mayoritas (85 persen), sementara suku Mandar relatif kecil jumlahnya.

Pada kenyataannya pengelompokan suku semacam ini juga terkait dengan pengelompokan keyakinan beragama masyarakat. Variasi etnis dan agama yang terpolakan semacam ini membawa konsekuensi pada arah perjalanan Sulbar. Dalam konteks politik, identitas kemudian menjadi atribut yang sensitif. Kuasa selalu tertuju pada identitas. Proses pemekaran Kabupaten Polewali Mamasa menjadi Polewali Mandar dan Mamasa tahun 2002 lalu, misalnya, membuka tabir rentannya ikatan-ikatan sosial yang terbentuk di wilayah baru ini.

Namun, beruntung, sejauh ini kekuatan dan kearifan istiadat itu pula yang mampu meredupkan bara dan membentuk suatu keseimbangan sosial baru yang dinamis. Pengalaman-pengalaman semacam ini menjadi bekal bagi masyarakat di Sulbar dalam setiap ajang kontestasi politik semacam pemilu. (Sugihandari)
(indonesiafile.com)
Bagikan :

20 komentar :

  1. mantap deh
    informasi yg sangat menarik

    BalasHapus
  2. Bos, informasi ini lumayan baru dan tak banyak dalam literatur resmi sejarah kita....

    BalasHapus
  3. sangat syahdu tulisannya.........

    kalo bisa yang lebih banyak bang.... biar lebih mantap lagi

    BalasHapus
  4. BUng Iccang, terima kasih kunjungan Anda. Bila ada info baru, pasti ditambahkan deh!

    salam

    BalasHapus
  5. jika merujuk pada peristiwa dimana dua pederasi yang terdiri dari 14 kerajaan yang kemudian bersepakat dalam satu ikatan yang saling menguatkan (sipamandar)lalu dari sini kerap dirujuk sebutan Mandar sebagai ikatan komunitas, seperti yang anda sebut, sejatinya Komunitas Mandar meliputi setiap etnis yang berdiam di ke 14 wilayah tersebut.Jadi Mandar lebih pada ikatan wilayah yang bersepakat tersebut. Bukan mengerucut pada satu etnis yang mendiami salah satu atau lebih dari ke 14 wilayah itu.

    Kembali ke soal keberadaan tujuh wilayah di hulu sungai yang meliputi, Tabulahang,Aralle, Mambi, Bambang, Rantebulahang, Tabang, dan Matangnga yang kemudia disebut PUS (Pitu Ulunna Salu), lalu dari mana sumber rujukan sebuah lagu yang sangat populer dikalangan masyarakat Mamasa, yang menyebut tujuh wilayah itu disebut sebagai kondo sapata wai sapalelean ?

    Syairnya: Tabulahang Bambang Mambi dan Aralle Rantebulahang Matangnga Malakbok Tabang.....Iyamo kondo sapata wai sapalelean...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kondosapaata hanyalah syair yang muncul belakangan yang diciptakan untuk mempererat hubungan masyarakat di wilayah Pitu Ulunna Salu,yang dilatarbelakangi oleh terjadinya perubahan besar Pasca terbentuknya federasi2 baru di wilayah Mamasa yang sekarang ini jadi ibukota Kabupaten Mamasa.Jadi untuk diketahui bahwa wilayah mamasa pada saat terbentuknya konfederasi Pitu Ulunna Salu itu, hanyalah tempat yang kosong tempat/ daerah perburuan.

      Hapus
  6. Apa ini bukan malah terjadi semacam pengaburan sejarah yang bukan menyuburkan keseluruhan namun malah menonjolkan salah satu bagian ? Mohon Penelusuran yang objektif sebagai bentuk ketak berpihakan...

    BalasHapus
  7. kondo sapata uwai sipaleleang itu merupakan wilayah perencanaan pemerintah Belanda untuk medirikan areal persawahan dlm rangka mengeksplorasi SDA, jd jngn salah paham dsni... kondo = sawah, sapatak = sepetak...

    BalasHapus
  8. kondosapata sepengetahuan sy bukan berbicara tentang daerah kekuasaan tp hanya wilayah pengairan sawah,. artinya saja KONDO (sawah) sapata (sepetak)wai sipaleleang (air terbagi rata) jadi kondosapata uwai sipaleleang (sawah sepetak dengan pengairan yg merata), justru generasi skrng yg mencoba menghilangkan arti sebenarnya,.. tawe'

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau diartikan secara harfiah, memeng itulah pengertiannya, sawah sepetak...tapi makna yang terkandung di dalamnya sebenarnya, adalah bagaimana masyarakat di Pegunungan mempererat persatuan diibaratkan seperti air dalam sawah sepetak, bukan berpetak2..Tetapi istilah itu muncul jauh setelah terbentuknya PUS..bahkan, ma'af, ada indikasi bentukan Kolonial Belanda masih dalam politik mereka De Fide at Impera, untuk mengaburkan semangat Sipamandar yang tercetus dalam Muktamar Allamungan Batu di Luyo/Lujo antara PUS dan KBM...

      Hapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  10. yang Seharus nya Daerah Di Pitu Ulunna Salu,Tdk Pantas Untuk Memakai Nama Mamasa,Tpi Pada realitanya Daerah pitu Ulunna Salu ini seolah-olah di Bawa naungan Nama Mamasa oleh Kab Mamasa.

    BalasHapus
  11. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  12. Sepengetahuan Saya Lagu Tabulahan,Bambang,Mambi,Aralle Memang lagu itu ada tpi dulunya Bunyinya lain,itu Sebenar nya Perna diubah yg Dulunya tdk merujuk Ke Kondosapata Tpi Para Pejuang Kab.Mamasa Waktu itu Mengubahnya dengan Mengalihkan Tujuan lagu Ke Kondosapata Untuk menarik Simpatisan Pembentukan Kab Mamasa Waktu itu,itulah yg Bahaya di Pegunungan Karna Sangat Banyak yg Di Putar Belokkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. setuju saudaraku, saya sebagai warga pribumi di wilayah Adat Rantebulahan juga prihatin dengan usaha2 pengaburan sejarah semacam itu...

      Hapus
    2. Saya juga setuju...menurut sejarah yang pernah saya baca...tahun 1949..Belanda mendirikan 2 kerajaan boneka di Sulsel...Yaitu Toraja Dan Kondosapata.....

      Hapus
  13. JANGAN BERPALING DARI KEBENARAN SEJARAH ,DAN JANGAN MEMPERDAGAGKAN KEBOHONGAN DEMI KEPENTINGAN PRIBADI
    REKI FERNANDE .

    BalasHapus
  14. Penduduk asli Kayu berang termasuk suku apa??..apkah toraja atau bambang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nenek moyang orang jayuberang berasal dari Sa'dan...yang sekarang merupakan wilayah Toraja...Suku Toraja kemudian muncul.. Setelah belanda.. Memberi gelar...Budaya di Kayuberang..mau dibilang suku Toraja..tApi Rumah hadat sudah lain dari toraja...pakaian hadatnya perkawinan Mandar dan Toraja...mau dibilang Orang Mamasa. tapi kebiasaannya..tdk seperti Mamasa..

      Hapus
  15. Tertarik untuk lebih banyak mengenal sejarah PUS, selain penuturan dr Almarhum ayah saya. Semoga dapat pencerahan dr para senior

    BalasHapus



PASANG BANNER INI PADA BLOG ANDA

Copy Kode HTML di Bawah Ini

<a href="http://www.mamasaonline.com"><img border="0" src="http://pijarpustakamedia.com/mamasaonline480x320.gif" width="480" hight="320"/></a>

SAMBUTAN BUPATI MAMASA

Selamat dan sukses atas diluncurkannya portal berita www.mamasaonline.com semoga bisa menjadi media pemersatu dan sumber informasi serta media kontrol yang berimbang,obyektif serta inspiratif dalam rangka turut serta berperan aktif dalam upaya pembangunan Mamasa kedepan. Salam dari kami berdua, Ramlan Badawi dan Victor Paotonan (Bupati & Wakil Bupati Mamasa).

VIDEO

TWITTER

FB FANS PAGE

 
Support : Mamasa Online | Johny Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. mamasa online - All Rights Reserved
Template by Mamasa Online Published by Mamasa Online