Headlines News :
Home » » Bekerja Untuk Masyarakat Adat di Mamasa, Pengalaman Seorang Aktivis

Bekerja Untuk Masyarakat Adat di Mamasa, Pengalaman Seorang Aktivis

Written By Unknown on Minggu, 08 November 2009 | 06.39


"Sejak kolonialisme Belanda berkuasa di Mamasa, masa di bawah pemerintah Kabupaten Polmas hingga saat ini-bahkan setelah pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat efektif berjalan, masyarakat adat yang tersebar di Kabupaten Mamasa hidup dalam kondisi yang memprihatinkan."   Mahir Takaka



MO -- Sebagian besar penduduk di Kabupaten Mamasa terlilit kemiskinan. Kecilnya kepemilikan lahan pertanian merupakan penyebab utama rendahnya tingkat pendapatan. Padahal mayoritas penduduk hidup dari pertanian. Sementara akses terhadap hutan-lahan dominan di Mamasa yang mencapai 60,8% luas wilayah-ditutup oleh pemerintah dengan klaim sebagai hutan negara. Keadaan ini berkorelasi kuat dengan rendahnya tingkat pelayanan pendidikan dan fasilitas kesehatan yang sangat minim. Kondisi ini diperburuk dengan minimnya infrastruktur. Sebagian besar wilayah hanya terhubung oleh jalan perintis. Demikian halnya dengan jaringan telekomunikasi yang tersedia hanyalah selular dan satelit, akses listrik hanya tersedia di kota-kota kecamatan, irigasi desa masih sangat sederhana dan terbatas.

Ironis memang di negeri yang kaya dengan sumber daya alam dan potensi sosial untuk berkembang, penduduk Mamasa mengalami kesengsaraan hidup. Ini tak lain disebabkan hilangnya kemampuan masyarakat adat untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri secara mandiri. Inilah sesungguhnya problem terbesar masyarakat Mamasa. Degradasi identitas dan nilai-nilai budaya telah menyebabkan hilangnya etos kerja masyarakat adat. Pembentukan desa telah menghapus sistem pemerintahan adat dan memudarkan nilai-nilai luhur kepemimpinan (adat). Pembentukan desa telah mencabut hak politik masyarakat adat untuk mengatur kehidupannya sendiri.
Proses demokratisasi tertinggi yang pernah membuat kejayaan masyarakat adat khususnya yang tinggal di Aralle, Tabulahan, Mambi dan Rantebulahan yang terkenal dengan sebutan “Ma’limbo” sejak pemerintahan Orde Baru memberlakukan penyeragaman sistim pemerintahan desa mulai melemah. Dari pernyataan salah satu Tokoh Masyarakat Aralle yang sangat saya kagumi yaitu Almarhum Mahmud Simpoha atau yang lebih populer dipanggil dengan nama Pak Max Simpoha bahwa “Ma’limbo” adalah “salah satu proses pengambilan keputusan tertinggi yang sudah berlangsung secara turun-temurun dan semua persoalan atau konflik yang terjadi bisa diselesaikan melalui “Ma’limbo” termasuk pembahasan hal-hal yang berhubungan dengan perencanaan pembangunan wilayah adat”. Persoalan kemudian adalah proses-proses yang sudah teruji dan mampu meminimalisir kesenjangan sosial tersebut justru tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang terpenting dan tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat adat sehingga informasi dan program yang masuk sudah tidak mampu di awasi oleh masyarakat adat apalagi melalui lembaga adat. Akhirnya masyarakat adat khususnya di Aralle, Tabulahan, Rantebulahan dan Mambi sudah mulai kehilangan kemandirian untuk menyelesaikan persoalan yang dialaminya.



Persoalan yang paling parah dihadapi oleh masyarakat yang umumnya tinggal di Kabupaten Mamasa muncul setelah Undang-undang No. 11 tahun 2002 tentang pemekaran kabupaten Mamasa di undangkan. Juga ketika kesepakatan matakali dan keputusan DPRD Polmas no.6/DPRD/II polmas tidak lagi dijadikan sebagai referensi kebijakan pemerintah sehingga perbedaan-perbedaan kepentingan ditingkat lokal muncul dan semakin meningkat. Dari sepuluh Kecamatan yang ada di wilayah geografis Mamasa ada tiga ( 3 ) kecamatan yang tetap bertahan untuk bergabung di kabupaten induk dalam hal ini Polewali. Masyarakat Aralle, Tambulahan dan Mambi yang keberatan ( Kontra ) untuk bergabung dengan Mamasa. Salah satu cara yang ditunjukkan oleh masyarakat di 3 kecamatan ini untuk memperlihatkan bahwa mereka kontra untuk bergabung dengan mamasa adalah sikap PNS dari beberapa instansi yang ada di ATM untuk menolak menerima gaji melalui Kabupaten mamasa. Dan yang lebih parah lagi adalah terjadinya dualisme Kepemimpinan di tiga ( 3 ) Kecamatan tersebut (ATM) dimana satu kecamatan terdapat 2 camat, satu SK versi Kabupaten Induk dan satu SK versi Kabupaten Mamasa.


Setelah suksesi Bupati dan telah terpilih bupati dan wakil bupati yang kemudian dilanjutkan dengan pelantikan bupati dan wakilnya pada tanggal 20 september 2003, ketegangan antara masyarakat yang pro dan masyarakat yang kontra pemekaran mamasa makin menjadi dan semakin memuncak, dan 9 hari setelah pelantikan terjadilah konflik yang tidak dapat dibendung lagi antara warga yang pro dengan warga yang kontra pemekaran di wilayah Aralle dan Mambi.
Pengalaman tersebut diatas harus menjadi pembelajaran yang bisa mengingatkan kepada publik bahwa sudah saatnya sistim sosial yang masih hidup dimasyarakat apalagi sudah berjalan secara turun temurun dijadikan salah satu referensi dalam menetapkan prioritas pembangunan disebuah wilayah. Apalagi dalam konteks masyarakat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang masih memiliki keberagaman budaya dan agama. 
Mahir Takaka
(http://mahirtakaka71.blogspot.com)

kredit foto:
 
Bagikan :

0 komentar :

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !



PASANG BANNER INI PADA BLOG ANDA

Copy Kode HTML di Bawah Ini

<a href="http://www.mamasaonline.com"><img border="0" src="http://pijarpustakamedia.com/mamasaonline480x320.gif" width="480" hight="320"/></a>

SAMBUTAN BUPATI MAMASA

Selamat dan sukses atas diluncurkannya portal berita www.mamasaonline.com semoga bisa menjadi media pemersatu dan sumber informasi serta media kontrol yang berimbang,obyektif serta inspiratif dalam rangka turut serta berperan aktif dalam upaya pembangunan Mamasa kedepan. Salam dari kami berdua, Ramlan Badawi dan Victor Paotonan (Bupati & Wakil Bupati Mamasa).

VIDEO

TWITTER

FB FANS PAGE

 
Support : Mamasa Online | Johny Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. mamasa online - All Rights Reserved
Template by Mamasa Online Published by Mamasa Online