Headlines News :
Home » » MENGENAL KETUA PGI

MENGENAL KETUA PGI

Written By Unknown on Kamis, 26 November 2009 | 19.46

Dr Andreas Anangguru Yewangoe
Pelayan Gereja bagi Orang Lain



MO --Ketua Umum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) periode 2004-2009, Pdt Dr AA Yewangoe, ini punya obsesi menjadikan gereja berguna bagi orang lain. Tidak hanya pelayan bagi jemaat sendiri tetapi juga pelayan bagi orang di luar komunitas Kristen. Dia bertekad mewujudkan keyakinan itu lewat cita-cita PGI yang dipimpinnya yakni Keesaaan Gereja di Indonesia yang dimplementasikan dalam keesaan in action (aksi bersama).

Menurut doktor theologia dari Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda (1987) dengan disertasi, “Theologia Crucis in Asia”, ini istilah keesaan in action adalah keesaan yang terwujud dalam perbuatan, dan bermakna bahwa gereja-gereja mesti sungguh-sungguh peduli dengan masalah-masalah kemanusiaan di Indonesia, yang diistilahkan gereja bagi orang lain.

Gereja bagi orang lain itu adalah gambaran dari suatu keyakinan teologis dan ikrar bahwa Yesus adalah manusia bagi orang lain. Manusia bagi orang lain berarti, menurut kepercayaan Kristiani, justru karena Dia mau menjadi manusia bagi orang lain maka Dia sampai mengorbankan diri-Nya. Dengan pemikiran seperti ini, gereja harus melakukan hal yang sama.

Gereja yang memberitakan kabar baik mestinya juga memberitakan hal-hal yang membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang dihadapi sehari-hari. Itu berarti, gereja harus lebih peduli kepada masalah-masalah sosial. Misalkan bencana tsunami di Aceh, gereja menolong dan membantu bukan malah menghasut supaya masuk Kristen. “Kalau itu yang terjadi, saya katakan berulang-ulang kepada gereja-gereja di sini, lebih bagus kita tidak usah pergi ke Aceh,” kata pendeta kelahiran Mamboru, Sumba Barat, 31 Maret 1945 itu.

Menurutnya, kita menolong bukan hanya karena belas kasihan, bukan hanya karena kita mau menjalankan tugas-tugas sosial, tetapi karena Allah memihak kepada mereka yang menderita, bahkan Allah sendiri rela menderita dengan turun sebagai manusia melalui Yesus Kristus.

Maka menurutnya, gereja harus kembali kepada hakikatnya. Itu tidak berarti bahwa gereja sama seperti LSM. Dia tegaskan, gereja tidak sama dengan LSM karena gereja tidak bertolak dari kepentingan philantropis atau idealis. Melainkan gereja bertolak dari keyakinan bahwa Allah berpihak pada yang menderita, maka gereja harus berpihak kepada mereka yang menderita.

Dia menyadari tidaklah mudah mencapai keyakinan dan cita-cita itu. Apalagi gereja-gereja yang ada di Indonesia memiliki corak dan ciri khasnya sendiri. Perbedaan-perbedaan seperti bentuk organisasi, tata cara ibadah, bahkan perbedaan pemahaman teologia terhadap subyek tertentu bisa membuat jurang pemisah satu sama lain.

Oleh karena itulah, PGI bercita-cita mempersatukan seluruh gereja di Indonesia meski mereka memiliki sejumlah perbedaan. Dalam Sidang Raya X di Ambon, 1984 diterima Lima Dokumen Keesaan Gereja (DKG), yang terdiri atas Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB), Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK), Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM), Tata Dasar, dan Menuju Kemandirian Teologi, Daya dan Dana.

Kemudian pada Sidang Raya XIII Palangkaraya (2000), diterima satu bentuk DKG yang sangat tegas. Gereja Kristen yang esa itu harus sudah diwujudnyatakan pada 2004 atau 2005, dengan prasyarat gereja-gereja harus menjalankan empat agenda, yakni mengatasi kekerasan, ikut mewujudkan civil society, derajat konektivitas dan akuntabilitas gereja.

Sayangnya, target tahun 2004 atau 2005 ini semakin jauh dari jangkauan karena banyak gereja yang tidak memahami DKG itu atau berbeda pemahaman mengenai DKG itu. Sehingga, sebelum dan selama proses sosialisasi DKG, muncul dua kutub pemikiran tentang Keesaan Gereja.

Kutub pertama menghendaki keesaan yang terwujud dalam bentuk institusi atau organisasi yang jelas. Kutub kedua menghendaki keesaan yang terwujud secara fungsional di mana semua gereja menjalankan fungsi-fungsi gereja dalam visi yang sama.

Persoalan dilema ‘keesaan’ ini setidaknya mulai teratasi setelah Sidang Raya PGI XIV yang kembali menegaskan bahwa kendati bentuk institusi organisasi penting, tetapi bukan itu yang terpenting dalam perjalanan gereja-gereja. Sebab bila gereja sibuk mengurusi intern organisasinya, masalah-masalah kemanusiaan yang menjadi ladang pelayanan gereja menjadi terbengkalai.

Karena itu, Sidang Raya PGI XIV mengajak seluruh gereja untuk lebih menekankan pada fungsinya sebagai gereja. Untuk memberi pemahaman yang lebih menyatu dibuatlah istilah keesaan in action yang juga disamartikan dengan gereja bagi orang lain.

Dibesarkan Orangtua Angkat
Andreas Anangguru Yewangoe dilahirkan di Mamboru, Sumba Barat, 31 Maret 1945. Sehari-harinya, ia biasa dipanggil Yewangoe saja. Hanya kalangan terdekatnya yang memanggilnya dengan nama kecilnya, Andreas.

Bagi orang dekatnya, Yewangoe punya tempat tersendiri di hati mereka. Sedangkan bagi orang yang belum mengenalnya, ia kerap kali dicap sangat pendiam dan terkesan angkuh. Padahal ia tidak bermaksud angkuh dan semacamnya. Diakuinya, komentar tersebut mungkin muncul karena karakternya yang serius dan bicara seperlunya.

Istrinya, Petronella Lejloh (baca Leyloh) punya kesan tersendiri. Ia menilai Yewangoe sebagai pribadi yang tegas, yang selalu mengerjakan pekerjaannya sampai selesai, tanpa menunda. Namun, pada dasarnya, ia orang yang terbuka, membiasakan berdiskusi di rumah, dan memberi kebebasan kepada keluarga untuk berpendapat. Ia bahkan gelisah kalau tidak ada yang mengkritiknya.

Sejak usia 7 bulan, Yewangoe sudah diasuh oleh orang tua angkatnya yakni Pdt SM Yawange (ayah) yang melayani sebagai pendeta di kampungnya dan Leda Kaka (ibu). Ia menjadi anak angkat bukan karena tidak mempunyai orang tua lagi namun karena ayah angkatnya, saudara ayahnya sendiri, ini tidak mempunyai anak. Ada kebiasaan di Sumba bahwa anak dari saudara bisa diangkat. Orang tua kandungnya Lakimbaba (ayah) dan Kuba Yowi (ibu) juga sangat menyayanginya.

Kehidupan keluarga ayah angkatnya terbilang sangat sederhana. Ayah angkatnya menggantungkan hidupnya sebagai petani sebab gaji seorang pendeta sangatlah kecil. Meski hidup dalam kesederhanaan, cinta kasih antara Yewangoe dan keluarganya terjalin erat.

Bila mengingat masa kanak-kanaknya, Yewangoe terbawa pada masa di mana ia dan kawan-kawannya menggembalakan kerbau. Mereka punya hobi yang sama yaitu mengadu kerbau. Setiap kali kerbau sedang diadu, ia dan kawan-kawannya memanjat pohon agar terhindar dari serudukan kerbau yang sedang bertarung. Pengalaman ini tidak pernah dilupakannya.

Waktu terus berlalu dan Yewangoe menjalani hidup seperti orang desa kebanyakan. Karena akrab dengan kehidupan seorang pendeta, terlintas dalam hatinya untuk menjadi pendeta. Bahkan, ayah angkatnya mendorongnya agar menjadi pendeta. Di benak Yewangoe muda, satu-satunya cara agar ia bisa menjadi pendeta adalah dengan mengikuti sekolah pendeta. Saat itu, ia sama sekali tidak mengerti apa itu belajar teologia dan segala hal yang berkaitan dengannya.

Setelah mengikuti pendidikan dasar selama 6 tahun di Sekolah Rakyat Masehi di Mamboru (1951-1957), pendidikan Menengah Pertama dan Atas di sebuah sekolah Kristen di Waikabubak, ibukota Kabupaten Sumba Barat (1957-1960; 1960-1963), ia melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta.

Cultural Shock
Berangkat ke Jakarta bukan perkara yang mudah baginya. Dalam perjalanannya ke Jakarta, ia harus naik kapal hewan. Mau tidak mau, ia tidur ditemani kuda atau kerbau. Menurutnya, keadaan saat itu sudah tergolong mewah.

Sebagai orang desa, Yewangoe berpikir bahwa Jakarta itu luar biasa besarnya, berbeda dengan kampungnya yang ada di pulau terpencil. Tidaklah mengherankan, pada bulan-bulan pertamanya di Jakarta, ia mengalami cultural shock yang sering dialami oleh para pendatang.

Ia kemudian mengisahkan bahwa melalui masa studi di STT Jakarta tidaklah mudah karena setiap mahasiswa harus melalui berbagai ujian yang cukup berat terutama ujian bahasa Yunani dan Ibrani yang menjadi momok bagi mereka. Apalagi bagi Yewangoe sebagai mahasiswa yang berasal dari kampung.

Tantangan semakin bertambah karena kemampuan bahasa Inggris Yewangoe masih pas-pasan. Sebab pada waktu itu, dosen yang mengajar bahasa Yunani adalah orang Amerika yang setiap kali mengajar menggunakan bahasa Inggris. Mau tidak mau, ia harus memelajari dua bahasa sekaligus, bahasa Inggris dan bahasa Yunani.

Sebagai mahasiswa, Yewangoe mengaku tidak terlampau rajin dan agak santai dalam berkuliah. Ia berhasil melewati ujian demi ujian karena terlibat dalam Persekutuan Mahasiswa. Di sana, ia dan rekan-rekannya saling membantu mengerjakan tugas dan belajar bersama.

Pada masa itu, kuliah di STT terbilang tidak mudah. Ada saja mahasiswa yang drop out karena tidak mampu mengikuti perkuliahan. Belakangan ia semakin bersyukur karena dari 40 orang yang masuk, hanya 8 orang saja yang lulus kuliah termasuk dirinya.

Semasa kuliah inilah ia baru mengerti apa itu teologia dan mulai tertarik untuk mendalaminya. Ia bergelut dengan berbagai pertanyaan hidup tentang iman dan eksistensi manusia.

Perlahan-lahan, lewat pemikiran dan buku-buku yang dibacanya, ia menyimpulkan bahwa tidaklah mungkin orang beriman tanpa keraguan. Dari situlah ia melihat bahwa keraguan itu suatu keharusan dan tidak mungkin ada orang yang tidak ragu. Meski keraguan itu tidak diformulasikan, setidaknya dalam hati orang pasti ada keraguan. Dari situlah iman timbul. Dengan pemikiran seperti ini, ia berpendapat bahwa tidak perlu takut bila orang ragu.

Pelayan Pendidikan Theologia
Setelah menyelesaikan studinya di STT Jakarta pada 1969, Yewangoe mengabdikan diri sebagai pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS) di Waingapu, Sumba. Mestinya ia menjadi pendeta di daerah pedalaman, namun karena ada satu pendeta yang mestinya menjadi dosen di Akademi Theologia Kupang (sekarang Universitas Kristen Artha Wacana) mengundurkan diri, ia diangkat menjadi dosen yang mengajar ilmu Theologia Sistematika pada 1971. Akademi ini dibuka oleh dua gereja besar yaitu Gereja Masehi Injili di Timor dan Gereja Kristen Sumba.

Setahun kemudian, pada usia yang sangat muda (27 tahun), ia dipercaya menjadi rektor periode 1972-1976. Posisinya itu membuat ia banyak berhadapan dengan para mahasiswa yang usianya jauh lebih tua darinya.

Perlahan namun pasti, perjalanan hidupnya dipenuhi dengan berbagai kejutan. Selama tiga tahun, 1976-1979, ia diutus ke Belanda untuk belajar teologia di Vrije Universiteit dan berhasil meraih gelar doktorandus teologi. Meski sama sekali tidak bisa berbahasa Belanda, Yewangoe dengan gigih memelajarinya hingga akhirnya lulus dengan nilai yang bagus.

Sekembalinya dari sana, Akademi Theologia Kupang dikembangkan menjadi Sekolah Tinggi Theologia (STT) Kupang dan ia dipercaya menjadi rektor, 1980-1984.

Tidak lama kemudian, pada tahun 1984, ia kembali ke negeri Belanda melanjutkan studi di universitas yang sama. Ia meraih gelar doktor setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul "Theologia Crucis in Asia: Asian Christian Views on Suffering in the Face of Overwhelming Poverty and Multifaceted Religiosity in Asia " bulan September 1987. Disertasinya ini kemudian diterbitkan BPK Gunung Mulia menjadi buku dengan judul Theologia Crucis di Asia, dimana tahun 2005 sudah memasuki cetakan ke empat.

Sekembalinya dari Belanda, Sekolah Tinggi Theologia (STT) Kupang sudah berubah menjadi Universitas Kristen Artha Wacana. Ia kembali dipercaya menjabat sebagai rektor untuk dua periode, 1990-1994 dan 1994-1998. Selesai masa jabatannya, ia terus menekuni profesinya sebagai dosen di Fakultas Teologia.

Pada tahun 2001, ia berangkat ke Jakarta dan menjadi dosen Theologia Sistematika di STT Jakarta sambil menjalani kegiatannya sebagai Ketua PGI yang dijabatnya untuk periode 2000-2004 hasil Sidang Raya XIII Palangkaraya. Sebelumnya, ia sudah dipilih sebagai Ketua PGI untuk periode 1994-1999, dan menjadi anggota Majelis Pekerja Harian (MPH) pada periode 1989-1994.

Ketua Umum PGI
Terhitung sejak Desember 2004, ia dipercaya menjabat sebagai Ketua Umum PGI periode 2004-2009 melalui Sidang Raya XIV Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang berlangsung sejak 30 November 2004 di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor. Sidang Raya PGI kali ini mengambil tema "Berubahlah oleh Pembaharuan Budimu".

Penulis tetap rubrik "Titik Pandang" di Suara Pembaruan, itu terpilih bersama Pdt Dr Richard M Daulay (sekretaris umum). Keduanya menggantikan posisi pimpinan PGI periode lalu yang dijabat Pdt Natan Setiabudi PhD dan Pdt Dr IP Lambe.

Pemilihan Ketua Umum dan Sekum PGI dilakukan terpisah. Dalam pemilihan Ketua Umum PGI, Yewangoe dari Gereja Kristen Sumba meraih 41 suara, menyisihkan dua calon lain: Pdt Dr John Titaley dari Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat/GPIB (16 suara) dan Pdt Dr Nico Gara dari Gereja Masehi Injili di Minahasa (14 suara). Pemilihan Ketua Umum PGI hanya berlangsung satu kali.

Sementara, Daulay, yang sebelumnya menjabat Wakil Sekretaris Umum PGI, memperoleh 41 suara, menyisihkan Nico Gara (34 suara). Pemilihan Sekum berlangsung dalam tiga putaran.

Ia bersama istri, Petronella Lejloh, yang dinikahinya 15 Desember 1970 dikaruniai dua orang anak. Si sulung bernama Yudhistira Gresko Umbu Turu Bunosoru lahir 1972. Menurut pengakuannya, nama Yudhistira diambilnya dari kisah Mahabarata dalam tradisi Hindu. Si bungsu bernama Anna Theodore (1980).

Meski tak seorang pun dari dua anaknya mengikuti jejaknya menjadi pendeta, namun Yudhistira, yang meraih gelar master dalam ilmu perniagaan dari sebuah universitas di Sydney, Australia, mempersunting seorang pendeta dari Kupang. Anna, hingga saat ini, masih memperdalam ilmu kepariwisataan di Bali.

Selain hobi mengajar, membaca buku sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupannya. Biasanya, sesudah membaca sebuah buku, ia membagi apa yang telah dibacanya itu kepada sang istri.

Tidak cukup hanya membaca buku, ia pun menulis beberapa buku di antaranya Pendamaian (1983), Pengantar Sejarah Dogma Kristen (2001), Agama dan Kerukunan (2002), Lea (2002) serta Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila (2002).

Ia juga mengisi waktunya dengan menulis. Bahkan, di tengah-tengah rapat pun, ia bisa memecah konsentrasinya untuk menulis suatu artikel. Sebagai salah satu penulis tetap rubrik "Titik Pandang" di Suara Pembaruan, ia termasuk kategori penulis disiplin memenuhi tenggat waktu. Walau mempunyai jabatan baru yang bakal membuatnya lebih sibuk, ia berjanji tetap menulis seperti biasa. "Saya melakukannya dengan gembira," katanya.

BIODATA

Nama: Andreas Anangguru Yewangoe
Lahir: Mamboru, Sumba Barat, NTT, 31 Maret 1945
Agama: Kristen
Jabatan: Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
Istri: Petronella Lejloh
Anak:
- Yudhistira Gresko Umbu Turu Bunosoru (1972)
- Anna Theodore Yewangoe (1980)
Ayah Angkat: Pdt. SM Yewangoe
Ibu Angkat: Leda Kaka
Ayah Kandung: Lakimbaba
Ibu Kandung: Kuba Yowi

Pendidikan:
- Lulusan STT Jakarta (1969)
- Doktoral dari Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda, pada 1987 dengan disertasi, “Theologia Crucis in Asia: Asian Christian Views on Suffering in the Face of Overwhelming Poverty and Multifaceted Religiosity in Asia”, kemudian diterbitkan BPK Gunung Mulia menjadi buku dengan judul Theologia Crucis di Asia, dan tahun 2005 memasuki tahun cetakan keempat.

Pekerjaan:
- Penulis tetap rubrik "Titik Pandang" di Suara Pembaruan
- Pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS) di Waingapu, Sumba
- Dosen di Akademi Theologia Kupang (1971)
- Rektor Akademi Theologia Kupang (1972-1976)
- Rektor Universitas Kristen Artha Wacana Kupang (1990-1994 dan 1994-1998)
- Ketua PGI (1994-1999 dan 2000-2004)
- Anggota Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI (1989-1994)
- Advisor dari Reformed Ecumenical Council (1992-1996)
- Pengurus Persetia (1980-1984)
- Wakil Ketua Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Kristen di Indonesia (1996-2001)
- Pengurus International Reformed Theological Institutions (IRTI), Leiden
- Pengurus International Association for Promoting Christian Higher Education (IAPCHE), Michigan, USA
- Moderator cluster Unity Theology and Mission dari Christian Conference of Asia (ACA), Hongkong
- Penasihat Sinode Gereja Kristen Sumba
- Anggota Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor

Kegiatan Lainnya:
- Dosen tamu di Theologische Universiteit Kampen, 1995
- Menyampaikan makalah di Seminar International Reformed Theological Institutions di Leiden (1999), Princeton, USA (2001)

Buku
- Pendamaian (BPK Gunung Mulia, 1983)
- Theologia Crucis in Asia, Rodopi, Amsterdam, 1987
- Theologia Crucis in Asia (BPK Gunung Mulia, 1989, 1993, 1996)
- Firman Hidup 27 dan 34 (BPK Gunung Mulia, 1984)
- Pengantar Sejarah Dogma Kristen (2001)
- Agama dan Kerukunan (2002)
- Lea (2002)
- Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila (2002)
- Yesus dan Politik, Sebuah Bunga Rampai, 2004. Ditulis bersama Eka Darmaputera, Ph.D, Dr. PD      Latuihamallo, Dr Paul Marshall (2004)     
      
Sumber: TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
(http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/andreas-yewangoe/biografi/index.shtml)
Bagikan :

0 komentar :

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !



PASANG BANNER INI PADA BLOG ANDA

Copy Kode HTML di Bawah Ini

<a href="http://www.mamasaonline.com"><img border="0" src="http://pijarpustakamedia.com/mamasaonline480x320.gif" width="480" hight="320"/></a>

SAMBUTAN BUPATI MAMASA

Selamat dan sukses atas diluncurkannya portal berita www.mamasaonline.com semoga bisa menjadi media pemersatu dan sumber informasi serta media kontrol yang berimbang,obyektif serta inspiratif dalam rangka turut serta berperan aktif dalam upaya pembangunan Mamasa kedepan. Salam dari kami berdua, Ramlan Badawi dan Victor Paotonan (Bupati & Wakil Bupati Mamasa).

VIDEO

TWITTER

FB FANS PAGE

 
Support : Mamasa Online | Johny Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. mamasa online - All Rights Reserved
Template by Mamasa Online Published by Mamasa Online