Headlines News :
Home » » Belajar Kembangkan Organik, Petani Mamasa Bangun PIO

Belajar Kembangkan Organik, Petani Mamasa Bangun PIO

Written By Unknown on Kamis, 05 November 2009 | 16.27


MO -- Agustinus Malia, 54 tahun, menyebarkan pelet di kolam ikannya, dua pekan lalu. Usai memberi makan bibit ikan mas itu, petani dari Desa Minake, Kecamatan Tandukkalua’, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat ini kemudian membersihkan gulma di antara tanaman sayur wortel di lahan seluas 0,75 hektar tersebut.
Lahan tempat Agus bertani itu tak hanya sebagai tempat bertani. Lahan itu sekaligus tempat belajar bagi ribuan petani lain di Kabupaten Mamasa. Di lahan tersebut tak hanya ada kebun sayur berisi wortel, sayur sawi, dan semacamnya tapi juga ada pos informasi organik (PIO).
Ada rumah sederhana berdinding kayu dengan bentuk atap seperti rumah toraja. Di rumah berlantai tanah itu terdapat pula perpustakaan kecil dengan koleksi buku dan majalah tentang pertanian organik.
Di salah satu papan, terdapat rencana kerja selama satu tahun ke depan: pengadaan kambing dan sapi, pembenahan kebun organik, penanaman sayur (sawi, bayam, wortel, dll), perbanyak kascing, pembuatan reaktor bio gas, pelayanan organik, dan seterusnya. Jadwal kegiatan itu setidaknya memperlihatkan bagaimana ambisi PIO tersebut: sebagai pusat informasi untuk petani lokal.
Agus, petani sekaligus Koordinator PIO tersebut, mengatakan bahwa berdirinya PIO tak bisa lepas dari potensi Mamasa untuk menghasilkan sayur. Berada di atas ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut, Kabupaten Mamasa merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Barat dengan kondisi geografis cocok untuk mengembangkan berbagai jenis sayur dan buah-buahan seperti wortel, buncis, tomat, dan semacamnya.
Kabupaten ini berada di daerah berhawa sejuk dan kondisi geografisnya berupa pegunungan. Berdasarkan data di Kabupaten Mamasa, kabupaten ini terdiri dari sekitar 32 persen di lembah, 65 persen di daerah lorong bukit dan 3 persen berupa dataran. Kelembaban udara di kabupaten ini sekitar 14,3 persen dengan suhu udara antara 16 –28 derajat celcius.
Sebagai kabupaten baru, sebelumnya masuk Kabupaten Polewali Mamasa, Mamasa relatif masih terisolir. Untuk menuju kabupaten ini dari kota Polewali, kota terdekat dari Mamasa, perlu waktu sekitar 6 jam dengan mobil meski jaraknya tak lebih dari 90 km. Lamanya perjalanan ini karena kondisi jalan yang rusak, berliku, dan kecil.
Meski sumber daya alamnya memadai untuk memproduksi sayur, petani setempat kurang memiliki kemampuan produksi sayur dan buah ini. Mereka pun harus belajar cara bercocok tanam sayur dan buahan ini ke daerah lain seperti Pinrang dan Enrekang.
Maka, kabupaten yang baru terbentuk pada 2002 ini sepenuhnya bergantung pada kabupaten lain untuk memenuhi kebutuhan sayur. Hampir 95 persen sayur yang dijual di pasar terbesar di ibukota kabupaten ini berasal dari daerah lain seperti Mamuju, Polewali, dan sekitarnya.
Survei oleh Yayasan Duta Pelayanan Masyarakat (YDPM), Organisasi Non Pemerintah (Ornop) di Mamasa, pada tahun 2008 menunjukkan bahwa hanya sekitar 20 persen produk pertanian di pasar Mamasa yang berasal dari petani lokal. Sisanya dari luar daerah seperti Enrekang, Toraja, dan Malino. Beras pun didatangkan dari Polewali dan Pinrang.
Melihat potensi dan kendala untuk membudidayakan sayur maupun buah-buahan tersebut, beberapa petani di Mamasa kemudian mendirikan PIO di Ujung Sepang, Desa Malobo, Kecamatan Tandukkalua’. Tak hanya sebagai tempat belajar, PIO ini semacam demo plot (demplot) atau tempat uji coba berbagai jenis sayuran.
Pos informasi ini dibangun oleh petani setempat dengan bantuan dari Yayasan Komunitas Indonesia (Yakomi), LSM di Mamasa, dan VECO Indonesia, lembaga donor berbasis di Belgia. Tak hanya sebagai pusat informasi, PIO itu sekaligus jadi tempat belajar tentang cara bertani organik bagi petani setempat.
Frans Karaeng, staf Yakomi Mamasa, mengatakan sebelum ada PIO, petani setempat harus ke kabupaten lain seperti Enrekang dan Malino untuk belajar tentang budidaya sayur. Selain jauh, perlu waktu sampai sehari untuk ke daerah-daerah tersebut, juga biayanya mahal. Maka sejak 2006 lalu petani setempat mendirikan PIO.
Petani dan staf Yakomi yang pernah belajar ke berbagai tempat, termasuk di Jawa, kemudian membagi ilmunya di tempat belajar baru itu. Tiap bulan selalu saja ada petani dari kecamatan lain yang belajar di lahan tersebut atau sekadar melihat-lihat.
Menurut Agus, sistem pertanian yang diterapkan di PIO menggunakan sistem low external input for sustainable agriculture (LEISA). LEISA adalah sistem pertanian yang menggunakan bahan-bahan di sekitar lahan untuk budidaya. Daripada menggunakan pupuk kimia, petani memilih menggunakan pupuk kandang. Daripada pakai pestisida, petani pakai bahan organik untuk mengatasi serangan hama.
“Kami tidak mau menggunakan bahan kima karena itu akan merusak sayur produksi kami,” kata Agus dua pekan lalu ketika ditemui di lahan PIO.
Agus menambahkan, lahan yang digunakan sebagai tempat belajar itu adalah tanah ulayat. Karena untuk keperluan bersama, warga ulayat pun mengizinkan lahan tersebut digunakan. “Awalnya di sini hanya semak belukar,” kata Agus.
Kemudian dia dan petani lain mengubah lahan penuh semak dan berundak itu menjadi tempat belajar.
Selain menerapkan sistem LEISA, PIO juga mengembangkan model diversifikasi pertanian. Di lahan seluas itu petani mengembangkan aneka sayur seperti wortel, tomat, sayur sawi, bahkan ubi jalar.
Komoditas terakhir itu punya arti tersendiri bagi petani setempat. Ubi jalar maupun ubi kayu –nama lain singkong- semula masuk salah satu makanan pokok bagi warga setempat. “Tiap pagi kami makan ubi. Kalau siang dan malam baru makan nasi,” kata Timotius Thandung, 53 tahun, petani lain di Desa Minake, sekitar 5 km dari lokasi PIO.
Namun sejak Revolusi Hijau mulai masuk hingga ke pelosok Mamasa sekitar 1982, pelan-pelan petani melupakan ubi sebagai makanan pokok. Hal ini, menurut Agus, karena petani dipaksa untuk menanam padi saja selama satu tahun. Banyaknya padi dan makin langkanya ubi membuat warga pun mulai melupakan ubi sebagai pangan lokal.
Sejak 2007 lalu petani di Mamasa kembali menggalakkan menanam ubi selain padi. “Kami ingin mengembalikan ubi sebagai salah satu pangan lokal Mamasa,” kata Agus. 
(www.beritabumi.or.id)
Bagikan :

0 komentar :

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !



PASANG BANNER INI PADA BLOG ANDA

Copy Kode HTML di Bawah Ini

<a href="http://www.mamasaonline.com"><img border="0" src="http://pijarpustakamedia.com/mamasaonline480x320.gif" width="480" hight="320"/></a>

SAMBUTAN BUPATI MAMASA

Selamat dan sukses atas diluncurkannya portal berita www.mamasaonline.com semoga bisa menjadi media pemersatu dan sumber informasi serta media kontrol yang berimbang,obyektif serta inspiratif dalam rangka turut serta berperan aktif dalam upaya pembangunan Mamasa kedepan. Salam dari kami berdua, Ramlan Badawi dan Victor Paotonan (Bupati & Wakil Bupati Mamasa).

VIDEO

TWITTER

FB FANS PAGE

 
Support : Mamasa Online | Johny Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. mamasa online - All Rights Reserved
Template by Mamasa Online Published by Mamasa Online